REMBULAN, LILIN, DAN AIR NIRA
Makassar 08 June 2009. 23:37
Kamu pernah definisikan cintamu untukku seperti rembulan. Terang tak seterang matahari. Besar tak sebesar bumi. Dekat tak sedekat awan. Tapi mungkin kau lupa bulan tak semulus tampaknya, banyak lubang dan jurang. Bulan tak setenang kelihatannya, karena dia, laut pasang dan surut. Bulan tak sejinak rupanya, tanpa pemberat kau terapung-apung dipermukaannya. Bulan gersang dan tandus.
Kamu ceritakan itu karena ku tahu tak banyak yang kamu harapkan dari aku. Kau sudah melihat takdirmu saat memutuskan untuk mencintai aku. Tanpa perlu berdoa siang malam kau sudah tahu ujung dari petualanganmu.
Untuk apa berempati pada diri sendiri jika sejak awal sudah tahu akan terus bersahabat dengan kegetiran. Tak ada hal yang luar biasa yang bisa kau tangisi. Otakmu telah lama memprediksi walau hatimu berusaha menutupi.
Kamu juga pernah bilang cintamu kepadaku seperti lilin. Ketika dibutuhkan sangat sulit didapatkan. Walau redup tapi amat berarti. Cahaya lilin tak akan mampu membesar seperti lampu pijar. Ya, ku tahu kamu takut menjadi lampu pijar. Lilin akan habis mengorbankan tubuhnya untuk sinar yang tidak lebih dari 5watt. Lilin sudah mengerti takdirnya sejak awal. Hanya sejauh itu yang dia mampu berikan.
Kamu pernah katakan cintamu denganku seperti air nira. Manisnya hanya dapat dikalahkan oleh madu. Tapi bisa memabukkan. Madu berasal dari sari bunga-bunga pilihan, dibawa oleh lebah-lebah perkasa untuk diolah dengan sempurna. Sedangkan untuk dapat getah nira cukup kau lukai pohonnya nicsaya kau dapat airnya.
Tapi pernahkah kamu tahu, cintaku untukmu sebesar matahari, seterang lampu pijar dan semanis madu. Sayang tak pernah kau tanyakan padaku sampai kau tak lagi bersamaku.
In the arithmetic of love, one plus one equals everything, and two minus a half equals nothing — I have always been giving “one” and you gave “a half”.